watch sexy videos at nza-vids!
Skandal sex . Artis hot . Korea sex girl . Pinoy sex . Cerita dewasa sex . Artis indo hot . Katrina porn 3gp . Video sex


Cooltext1350940919

Birahi jalang

 Kerja Usaha Beberapa tahun yang lalu aku bertemu dengan calon suamiku, seorang dokter muda yang sedang naik daun.
Ketika ia mulai mengunjungi rumahku dan rupanya mulai menunjukkan minatnya terhadapku,
kedua orang tuaku menunjukkan rasa senangnya.
Maklumlah siapa yang
tidak mau punya menantu
seorang dokter. Apalagi Mas
Heru adalah dokter yang sedang
mulai naik daun di kota
kediamanku.
Dibandingkan pacar-pacarku
dulu, di antaranya ada yang
pegawai bank, dosen dan
pengusaha, kedua orang tuaku
paling bersikap mendukung
terhadap dokter muda ini.
Apalagi kelihatannya Mas Heru
cukup serius, dalam arti bukan
hanya sekedar ingin berkawan.
Sebagai anak yang ingin berbakti
terhadap orang-tua tentunya
aku harus mau mengikuti apa
yang mereka anggap baik untuk
kehidupan dan masa depanku.
Walaupun sebetulnya aku tidak
terlalu tertarik kepada Mas
Heru. Untukku dia orangnya
terlalu serius, dan selalu
berbicara tentang pekerjaannya.
Seolah-olah tidak ada hal lain
dalam kehidupan ini yang
menarik hatinya. Sudah
kubayangkan bagaimana akan
membosankannya kehidupanku
sebagai istrinya. Apalagi
sebetulnya aku termasuk orang
yang popular sebagai kembang
sekolahku. Rasanya kalaupun
mau mencari suami seorang
dokter kalau bisa jangan yang
seperti Mas Heru. Tapi apa boleh
buat, ternyata tidak selamanya
manusia dapat bebas memegang
kendali hidupnya.
Ketika Mas Heru datang di
dampingi kedua orang tuanya,
lalu ayahku menanyakan
kesediaanku untuk dilamar Mas
Heru, pada waktu itu rasanya
tidak ada jalan lain kecuali
menerimanya. Pesta
pernikahanku memang cukup
meriah, terutama untuk ukuran
kota kecilku. Tidak lama setelah
itu Mas Heru, yang telah
dipindah-tugaskan ke kota
Bandung, memboyongku ke
tempat kediamanku yang baru.
Benar saja ternyata tepat apa
seperti apa yang telah
kuperkirakan. Di kota Bandung
aku kesepian dan segera merasa
jenuh. Teman-temanku belum
banyak, sedangkan Mas Heru
terlalu larut dalam tugas-
tugasnya. Nikmatnya kehidupan
perkawinan, seperti yang pernah
digambarkan kakak-kakakku,
ternyata tidak kualami. Bukan
hanya secara sosial lingkungan
Mas Heru terasa begitu
membosankan, kehidupan
seksualku dengannya juga
terasa hambar. Hampir saja aku
menelepon mantan pacarku,
seorang pegawai bank yang
kebetulan juga dipindah ke kota
Bandung. Walaupun dengannya
dulu aku tidak pernah sampai
berani berhubunagan seks, tapi
sebatas hubungan oral yang
pernah kami lakukan rasanya
jauh lebih hebat daripada yang
kualami sekarang. Tapi untunglah
aku sanggup menahan diri.
Rasanya kemana gengsi dan
martabatku kalau harus
mencari-carinya, padahal dulu
lamarannya ditolak orang-tuaku
Penjaga Kantor
Dalam keadaan hampir tidak
tahan lagi, seorang wakil
perusahaan farmasi, yang
kebetulan menjadi relasi suamiku,
datang mengunjungiku.
Dimintanya kesediaanku untuk
menjadi agen penyalur obat-
obatan produksi perusahaannya.
Katanya menurut
pengamatannya, aku orangnya
supel, lincah dan cantik, bahkan
kelihatannya mempunyai bakat
untuk meyakinkan orang lain
dengan mudah. Sangat berbeda,
katanya lagi, dibandingkan
dengan suamiku. Dengan training
dan dukungan teknis
perusahaannya, aku akan
mampu mengembangkan usaha
sebagai penyalur obat-obatan.
Karena tertarik kuminta ijin
suamiku. Pada mulanya ia
nampak keberatan, karena
takut ada konflik kepentingan
dengan profesinya sebagai
dokter. Tetapi setelah kurayu
terus-menerus akhirnya Mas
Heru setuju juga. Katanya aku
boleh mencoba usaha baru ini,
dengan syarat tidak
memasarkan obat-obatan yang
kuageni di kota Bandung. Berarti
dengan demikian aku harus mau
melakukan kegiatan-kegiatan
marketing ku di kota-kota
lainnya, walaupun masih di
sekitar Bandung juga.
Setelah membuat kalkulasi yang
cukup mendalam, aku putuskan
untuk mulai melangkah. Kusewa
sebuah ruko agak besar di Jalan
Soekarno-Hatta, supaya dapat
dijadikan kantor sekaligus
gudang. Dengan bantuan relasi
pabrik obat yang kuageni aku
mulai menata usahaku. Terpaksa
aku sendiri yang harus
melakukan perjalanan-perjalan
untuk pemasaran, malah
kadang-kadang sampai berhari-
hari.
Tanpa diduga hanya dalam
tempo enam bulan kegiatanku
sudah menampakkan tanda-
tanda keberhasilannya. Dengan
keadaan yang semakin
berkembang bertambah pula
karyawanku, termasuk untuk
bidang pemasarannya. Tapi
beberapa pelanggan yang telah
kubina sejak awal, termasuk di
antaranya beberapa rumah sakit
dan apotik ternama, tetap
kutangani sendiri. Karena itulah
walaupun usahaku kelak semakin
maju, aku sendiri tetap
melakukan perjalanan-perjalanan
yang cukup melelahkan, dalam
rangka memelihara hubungan
dengan pelanggan-pelanggan
lamaku.
Di kantorku pegawai yang paling
tua bernama Pak Solichin, dan
sebagai penghargaan sering
kupanggil mang Ihin. Barangkali
karena dia sendiri merasa akrab
denganku dipanggilnya aku Neng
Yasmin, atau kadang-kadang
Neng Mimien. Tanpa kuduga
ternyata sebutan untukku ini
akhirnya menjadi populer di
antara karyawan-karyawanku.
Mereka resminya tetap
menyebutku Bu Yasmin atau Bu
Heru, tapi tidak jarang juga
Neng Mien atau Neng Mimien.
Karena aku masih muda, dengan
usia yang tidak terlalu jauh
berbeda dari pegawai-
pegawaiku, kubiarkan saja
mereka menggunakan sebutan
akrab ini.
Di antara karyawanku ada
seorang pemuda bernama Adli. Ia
masih muda, tetapi sudah
berkeluarga dengan satu orang
anak. Orangnya hitam manis,
gagah dan tampan, tetapi lugu
sekali. Kelihatannya
pendidikannya tidak terlalu
tinggi. Barangkali malah tidak
sampai tamat SD atau SMP.
Walaupun demikian kesetiaannya
sangat bisa diandalkan, bahkan
caranya membela apa yang
dianggapnya sebagai
kepentinganku sangat fanatik.
Dia mulai bekerja di tempatku
sebagai penjaga malam, alias
satpam, dan ternyata sangat
baik menjalankan tugasnya.
Karena dia juga pandai ilmu-ilmu
bela diri, seperti silat dan
sebagainya, beberapa stafku
mengusulkan supaya dia menjadi
pengawalku. Khususnya dalam
perjalanan-perjalananku keluar
kota. Apalagi akhir-akhir ini
keadaan di wilayah sekitar
Bandung dirasa kurang aman.
Jadi mulailah Adli ikut
mendampingiku keluar kota.
Ternyata pengaturan ini sangat
memuaskanku, karena orangnya
lucu dan jenaka. Sering-kali aku
merasa terhibur dengan lelucon-
lelucon ataupun gayanya yang
kocak. Di samping itu ada lagi
kelebihannya, sebagai seorang
jago silat Adli juga pandai
mengurut dan memijat. Maka
bukan sekali dua-kali aku sempat
memanfaatkan kebolehannya ini.
Pada suatu hari aku harus
melakukan kunjungan ke kota-
kota Sumedang, Kuningan dan
Cirebon. Endah, seorang tenaga
pemasaran yang biasa
mendampingiku, kali ini tidak bisa
ikut bersamaku. Kebetulan
orang-tuanya jatuh sakit.
Karena Mas Heru tidak
keberatan pergilah aku dengan
supirku, tentunya di kawal juga
oleh Adli. Aku meninggalkan kota
Bandung dengan perasaan
enteng saja. Tidak terbayang
bahwa nantinya akan terjadi
sesuatu yang akan membawa
pengaruh yang besar dalam
kehidupanku.
Tidur Bersama
Semua urusanku di Sumedang
berjalan lancar, bahkan mungkin
lebih banyak waktu yang
kugunakan ngobrol dengan
langganan-langgananku daripada
betul-betul menangani masalah
bisnisnya. Seusai untuk malam
pertama ini kami menginap di
Sumedang. Kupilih kamar yang
baik dan bersih untukku, lalu aku
mandi menyegarkan diriku.
Ketika mencoba untuk tidur
ternyata aku tidak merasa
mengantuk sama-sekali. Sulit
sekali bagiku untuk memicingkan
mataku. Akhirnya daripada kesal
sendirian kusuruh Adli datang ke
kamarku. Akan kuminta dia
memijatku, sambil aku nanti
mendengarkan cerita-ceritanya
yang jenaka.
"Ada apa neng?" tanya Adli
sambil memasuki kamarku.
Kuminta Adli memijat
punggungku. Sebagai karyawan
yang setia ia mau saja. Setelah
beberapa saat kuminta ia
menduduki pantatku, maksudnya
supaya tekanan pijatannya lebih
terasa. Santai saja kubiarkan ia
mengurut dan memijati
punggungku yang agak terbuka,
karena jenis daster yang
kukenakan memang seperti itu.
"Neng, panas yah! Saya sampai
keringetan!"
Dengan lugunya Adli mengeluh
kepadaku. Santai saja
kutanggapi kata-katanya,
"Ya buka aja kaosnya!"
Setengah geli dan juga kesal aku
melihat dia langsung membuka
kaosnya dengan tanpa ragu
sedikitpun. Lalu kembali dia
memijati punggungku. Tidak
berapa lama kemudian terdengar
Adli berbicara lagi,
"Neng.. Neng Mimien, maaf ya
Neng, kalau ada yang
mengganggu."
Polos betul anak muda ini. Begitu
sopan dan lugu, tapi juga gagah
pembawaannya.
Memang aku sendiri merasakan
ada yang sesuatu mengganjal di
atas pantatku.
"Kenapa sih memangnya?"
Tanyaku dengan maksud mau
mengganggunya. Jawabannya
yang polos membuatku geli, tapi
juga terangsang. Dengan sangat
lugu dia menerangkan,
"Iya Neng, sudah seminggu belum
kesampean.. eh.. gituan."
Kutanya lagi, "Kok bisa?"
"Iya habis kan sudah tiga hari ini
sibuk di kantor, habis itu diminta
nganterin Neng keliling." Lalu
sambungnya lagi,
"Padahal sebelum berangkat istri
saya lagi.. itu tuh Neng.. datang
bulan."
Karena kepingin tahu kutanya
terus,
"Jadi gimana dong?"
Keluguan dan kepolosannya
semakin terlihat sewaktu dia
menjawab.
"Yah pusing saja.. Apalagi ngeliat
punggung Neng Mimien kenceng
begini, kayak istri saya saja..,
bedanya neng lebih putih aja."
Agak menahan tawa kuanjurkan
padanya,
"Yah kalau pusing dilepas aja
pakai tangan di kamar mandi
sana."
Usulanku ini ternyata ditanggapi
dengan serius oleh Adli.
"Iya yah Neng, bener juga, kalau
gitu ditinggal sebentar ya Neng."
Adli berdiri lalu melangkah
kearah kamar mandi. Seakan-
akan tanpa beban apapun
ditinggalnya aku sendiri begitu
saja. Masih terlihat olehku
tubuhnya yang ramping, kekar
dan berotot itu. Tanpa sadar
kutelan ludah. Rasanya ada
sesuatu yang mengganjal di
kerongkonganku.
Karena bosan dan juga ingin
tahu, kalaupun belum karena
dorongan gairah, kususul Adli ke
kamar mandi. Karena tidak
terkunci pelan-pelan kubuka
pintunya dan akupun masuk
dengan rasa penasaran. Adli
tidak menyadari kehadiranku di
dekatnya. Terlihat dia sedang
berdiri menyandar pada bak
mandi. Tubuhnya dalam keadaan
telanjang, karena tadi baju
kaosnya sudah kusuruh lepas
waktu sedang memijatiku.
Walaupun kulitnya agak gelap,
secara keseluruhan dia terlihat
gagah. Celana pendeknya masih
menggantung di pahanya,
karena rupanya hanya dilorot
sebagian.
Terlihat matanya terpejam
menikmati apa yang sedang
dilakukannya. Dari gerakan pada
lengannya kutahu dia sedang
mengocok barang kepunyaannya.
Segera kutujukan mataku ke
arah selangkangannya. Apa yang
kulihat saat itu membuatku
kagum, dan juga nafasku sesak
tersengal. Tangan Adli sedang
menggenggam alat
kejantanannya, yang kelihatan
besar dan panjang sekali. Sangat
berbeda dengan kepunyaan Mas
Heru yang ukurannya sedang-
sedang saja. Ujung kepala
kemaluannya bulat, keras dan
mengkilat. Seperti orangnya
warnanya juga cokelat tua agak
kehitam-hitaman.
Adli masih terus mengocok-
ngocok barang kepunyaannya
yang mengagumkan itu. Karena
matanya terpejam dia tidak
menyadari bahwa aku telah
semakin dekat dengannya. Aku
juga terbawa untuk
memejamkan mataku.
Terbayangkan olehku hal yang
tidak-tidak yang juga
membuatku terangsang. Kurasa
sesuatu yang menggelegak
dalam diriku. Sekali lagi aku
sampai menelan ludah. Lalu
kuberanikan diriku dan
menyapanya,
"Adli! Besar amat sih itu-nya?"
Adli terlihat sangat terkejut.
Tersipu-sipu ia berkata,
"Aduh Neng, kok ada di sini.. Aduh
maaf Neng!"
Segera kutenangkan dia, "Nggak
apa-apa, nggak apa-apa kok."
Lalu sambil mengulurkan
tanganku ke arah tonggak
kejantanan Adli aku berkata,
"Coba lihat dong! Ukurannya kok
sampai sebesar ini sih?"
Karena sudah terangsang tanpa
dimintanya kujilati juga tonggak
kejantanan yang perkasa itu.
Kesan lengket yang tadinya ada
sekarang sudah hilang, tersapu
oleh jilatan lidahku. Sementara
aku sedang menikmati
kejantanan Adli kudengar dia
bertanya,
"Neng seneng ya sama ITU-nya
Adli."
Kujawab singkat, "Iya dong,
seneng sekali."
Rasa penasaran rupanya
mendorongnya bertanya lagi,
"Kalau sama yang dulu-dulu."
Pertanyaannya membuat
gairahku semakin bergejolak.
Tapi kucoba juga untuk
menjawabnya,
"Senengan yang ini."
Merasa belum puas dikejarnya
terus jawabanku,
"Kenapa?"
Dengan nafas tersengal-sengal
kujawab dia,
"Ini yang paling hebat, paling
besar, paling kuat.. pokoknya..
paling jagonlah."
Adli tersenyum bangga. Lalu
pelan-pelan didorongnya daguku
hingga menjauh dari batang
kemaluannya.
"Iya deh, sekarang Adli mau
mandi dulu ya,' katanya meminta
diri.
Sejenak aku merasa seperti
ditinggal pergi dengan sengaja,
bahkan ditolak, atau malah
dipermainkan. Rasanya hatiku
tidak rela melepas Adli pergi,
biarpun hanya untuk ke kamar
mandi.
Malu-malu dia berusaha
menghindar, tapi terpegang juga
olehku barang kepunyaannya.
Lucunya setelah terpegang dia
tidak terus berontak, malah
dibiarkannya aku mengusap-usap
alat kejantanannya itu. Setelah
aku usap-usap Adli terlihat
sudah mulai mampu menguasai
diri lagi. Malah rupanya
keberaniannya timbul kembali.
Dengan gaya lugunya dia
bertanya,
"Emangnya besar ya Neng punya
Adli?"
Aku mengangguk mengiyakan.
Hampir tertawa aku ketika Adli
menanyakan,
"Tapi istri saya kok nggak
pernah bilang apa-apa yah?"
Kujawab saja sekenanya,
"Wah dia nggak ngerti suaminya
punya barang hebat.. Eh
ngomong-ngomong mau diterusin
nggak?" Dengan manis dan lugu
Adli mengangguk,
"Kalau nggak diterusin entar
pusing Neng."
Tidak mampu menahan diri lagi
langsung kutawarkan padanya,
"Mau saya bantuin nggak?"
Terlongo Adli memandangku dan
bertanya,
"Emangnya Eneng mau?"
Sambil tersenyum genit aku
berkata kepadanya,
"Kalau untuk kamu mau dong..
tapi jangan di sini ya, di kamar
aja yuk!"
Kutarik tangan Adli dan
menuntunnya kembali ke kamar
tidur. Kuarahkan supaya ia
duduk membujur di atas ranjang,
lalu aku menelungkup di
hadapannya. Kedua tanganku
mulai mengusap-usap batang
kejantanan Adli. Ukurannya
memang luar biasa. Tadi dalam
keadaan Adli berdiri, kalau
batangnya ditegakkan
sepertinya panjangnya sampai
ke pusarnya. Sekarang dalam
keadaan dia duduk panjangnya
jelas meliwati pusarnya itu.
"Aduh Neng, geli banget!" Erang
Adli.
Kedua lengannya mengencang
menyangga tubuhnya, sampai
terlihat otot-ototnya menonjol
gagah. "Adli! Adli! Besar amat ya
kepunyaan kamu ini, katanya
orang Arab yang itunya gede-
gede begini," demikian aku
membuatnya bertambah
semangat.
Ternyata Adli mengiyakan
sinyalemen ini dengan
menerangkan,
"Iya Neng, kakek saya dari pihak
ibu memang keturunan Arab."
Pantaslah kalau begitu. Beberapa
saat hening tanpa ada suara,
sementara aku terus mengocok-
ngocok lembut barang
kepunyaan Adli.
Sampai akhirnya terdengar lagi
Adli bertanya,
"Neng, katanya kalau orang bule
seneng ngemutin pake mulut yah
Neng?"
Pertanyaan ini kurasa semakin
menjurus dan membuatku
terusik oleh keinginan
terpendam yang ada di hatiku.
Dengan singkat kujelaskan
padanya,
"Ah bukan orang bule aja, orang
Indonesia juga ada."
Setelah terdiam sejenak
pertanyaan berikutnya membuat
gairahku semakin tergugah.
"Kalau Neng Mimien gimana?"
Walau dengan nada ragu-ragu
berani juga dia menanyakannya.
Akupun mengaku terus terang,
"Yah saya sih dari dulu juga
suka."
Sejenak lagi Adli terdiam lalu
terang-terangan bertanya,
"Sama punya Adli mau nggak
Neng?"
Aku melepas nafas lega, rupanya
akan terjadi juga hal tidak-tidak
yang dari tadi terbayang olehku.
Tapi aku tidak mau terburu-
buru, aku masih ingin
mempermainkannya dulu. Dengan
mimik serius kujelaskan padanya,
"Wah kalau itu sih harus dilamar
dulu!"
Rupanya tertarik Adli bertanya
mengejar,
"Maksudnya dilamar gimana
Neng?"
Masih tetap serius kupertegas
lebih jauh lagi,
"Ya ngelamar anak orang kan
biasanya ada syaratnya."
Wajah Adli terlihat agak kecewa,
"Yah kalau pake Mas kawin mah
Adli nggak punya."
Tidak ingin terlalu lama berjual
mahal langsung kujelaskan
padanya,
"Maksudnya bukan begitu,
syarat sebagai laki-laki ya ITU-
nya bisa bangun, besar, panjang,
keras sama kuat."
Kembali Adli nampak
bersemangat,
"Oh kalau itu sih Adli mampu..
Bersedia nggak Neng dilamar
Adli?"
Aku membisikkan kesediaanku.
Lalu Adli berkata dengan penuh
keseriusan,
"Neng, bersama ini Adli nyatakan
bahwa Adli ngelamar Neng Mimien
alias Neng Yasmin dan mampu
memenuhi syarat yang diminta
tadi.."
Kujawab kata-katanya itu,
"Dengan ikhlas saya bersedia
menerima lamarannya Adli dan
berjanji untuk memuaskan
kemauannya."
Walaupun aku sebetulnya
bercanda, tetapi semua
kulakukan dengan penuh
keseriusan. Begitu pula Adli
menanggapinya dengan cara
yang serius juga.
Sambil tersenyum lega Adli
bertanya,
"Terus gimana Neng?"
Aku juga tersenyum dan
menjawab, "Terus saya cium."
Dengan bersemangat Adli
memyambutnya,
"Aduh mau Neng, ayo dong!"
Pada saat bibirku mendarat di
atas kepala kemaluannya dan
mengecupnya Adli mendesah,
"Aduh geli Neng, enak."
Apalagi waktu mulai kujilat-jilat
dengan lidahku, ia betul-betul
merasakan nikmatnya. Tubuhnya
mengejang keras.
"Aduh Neng geli sekali."
Begitu kumasukkan ujung
kemaluannya yang seperti topi
baja itu ke mulutku, lalu mulai
aku kulum, Adli mengerang
panjang. Karena keenakan dia
sampai menekan kepalaku ke
bawah. Dipenuhi oleh kejantanan
lelaki yang sebesar itu aku
sampai sulit bernafas. Untung
aku sudah cukup berpengalaman
dalam hal seks oral, sehingga
dengan mudah aku bisa
menyesuaikan gerakan bibir,
lidah dan mulutku.
Ketika ujung tongkat
kejantanannya menyentuh
langit-langit mulutku, aku
merasakan lonjakan gairah yang
membawa nikmat. Sayang
sementara sedang menikmati itu
semua, masih kudengar juga Adli
bertanya lagi.
"Neng hanya ini aja apa boleh
lebih Neng?"
Terpaksa aku menjawab dulu,
supaya jangan terjadi hal-hal
yang tidak kuinginkan.
Kuusahakan supaya Adli bisa
menerima keteranganku dengan
baik.
"Sebatas ini aja ya, soalnya baik
Adli maupun saya kan udah
berkeluarga.. Lagi pula kalau
meliwati batas ini kita kan
jadinya melanggar perintah
agama.. Iya kan Adli?"
Tersenyum puas Adli
memandangku,
"Iya juga ya Neng, sampai
sekarang Adli belom pernah
melanggar perintah agama..
Terima kasih ya Neng, begini aja
Adli udah puas sekali kok."
Manis sekali anak ini, akupun jadi
semakin menyukainya. Langsung
kuperhebat emutanku, sampai
aku sendiri semakin terangsang.
Sewaktu aku sudah mulai
hanyut, ternyata masih juga
kudengar permintaan Adli.
"Neng..," panggilnya, "Neng
Mimien."
Agak kesal aku menjawabnya,
"Iya kenapa? Ada apa?"
Rupanya Adli tidak tahu bahwa
aku merasa kesal. Terbukti dia
masih memintaku,
"Neng, sambil diemutin, dijilatin
juga Neng, enak kan kalau
sembari dijilatin.."
Kupenuhi permintaannya,
walaupun aku merasa agak
jengkel. Berani betul anak muda
ini menyuruh-nyuruh aku. Untung
suasana batinku tidak sampai
terganggu, sehingga aku dapat
mencapai orgasmeku. Karena
sudah terangsang dari tadi,
terutama setelah mulai
mengemut alat kejantanan Adli,
beberapa usapan saja sudah
cukup untuk membawaku ke
puncak rasa jasmaniku. Aku
mengaduh, merintih dan
mengerang sambil terus menjilati
barang kepunyaan Adli. Laki-laki
itu sampai melihati aku dengan
pandangan agak heran. Tapi
tidak kuperdulikan lagi dirinya.
Terus aku emuti daging keras
Adli di mulutku, sampai gelora
rasaku mereda.
Setelah itu yang aku sadar
adalah betapa pegalnya rahang
mulutku, karena dari tadi
mengemuti kepunyaan Adli
dengan tanpa henti. Sedikit-
sedikit mulai ada rasa jengkel
juga karena daya tahan
kejantanan lelaki itu kuat sekali.
Hampir aku sentak dia ketika
sekali lagi kudengar suaranya
berbicara kepadaku.
"Neng..," katanya, "Neng."
"Aduh Adli, ada apa lagi sih?"
Tapi untung dia tidak menangkap
kekesalanku, karena kudengar
dia berkata,
"Saya hampir keluar Neng."
Rasa gairah semakin merangsang
diriku, semakin keras juga aku
mengemut dan mengisap alat
kemaluan Adli. Hingga akhirnya
seluruh tubuh Adli mengejang
keras, begitu juga batang
kejantanannya di mulutku.
"Ah.. ah.. Neng.. Neng Mimien.. ah..
Aduh Neng.." Adli mengerang
keras dan panjang. Rupanya dia
sedang mengalami puncak
kenikmatannya di mulutku.
Semburan demi semburan air
mani Adli memasuki rongga
mulutku. Banyak sekali, kental,
dan asin rasanya. Supaya tidak
terselak kutelan sebisa-bisanya.
Tapi setelah aku tidak tahan
lagi, kubiarkan sebagian
tertumpah dari mulutku dan
terjatuh ke perut Adli.
Beberapa saat kemudian
keadaan mulai mereda. Kudengar
suara nafas Adli lembut. Alat
kejantanannya yang masih
berada dalam genggamanku
ternyata masih keras juga.
"Adli," kupanggil dia.
Sambil mengusap-usap bahuku ia
menjawab,
"Neng?"
Kujelaskan padanya, "Punya
lelaki yang seperti begini yang
jadi idaman wanita."
Seperti biasa dalam
kepolosannya dia tidak langsung
mengerti,
"Kenapa Neng?"
Karena sudah puas aku tidak
kesal lagi dengan keluguannya,
"Soalnya biarpun sudah lepas
muatannya masih tetap keras."
Sebelum dia sempat bertanya
lebih jauh lagi kuminta ia
membujurkan dirinya di ranjang.
Lalu kuambil handuk yang sudah
kubasahi dengan air panas dan
kubersihkan seluruh tubuhnya.
Sebelum tertidur Adli sempat
memandangku mesra. Katanya
lirih,
"Neng Mimien, Terima kasih ya
Neng!"
Akupun tidur di ranjang satunya.
Pemandangan tubuh telanjang
Adli, yang sebagiannya telah
terbungkus selimut,
mengantarku ke dunia mimpi.
Ranjang Asmara
Perjalanan di hari berikutnya
berlangsung cukup lama. Bukan
karena jarak yang ditempuh
jauh sekali, tapi lebih disebabkan
oleh kemacetan yang luar biasa.
Sebuah truk trailer rupanya
mengalami selip dan terbuang
melintang menutupi sebagian
jalan antar kota yang kami
liwati. Setibanya di kota tujuan
berikutnya, yaitu Kuningan,
langsung kuperintahkan mencari
restoran untuk makan malam.
Sayangnya setelah itu tidak
langsung dapat menemukan
hotel ataupun losmen dengan
kamar yang masih kosong.
Akhirnya terpaksa mencari
kamar agak keluar kota, yaitu di
kawasan pariwisata yang berada
di daerah pegunungan.
Baru menjelang tengah malam
kami menemukan sebuah losmen
kecil di mana masih tersedia
kamar yang kosong. Untungnya
pada setiap kamar di losmen ini
dilengkapi pula dengan kamar
mandi. Ketika aku memesan
kamar, kulihat wajah Adli
menatap dengan pandangan
penuh harap. Begitu ganteng,
tetapi polos dan lugu sekali.
Kupesan satu kamar untuk dia
dan Pak Soleh, supir kantorku.
Aku sendiri minta kamar dengan
tempat ranjang double-bed.
Berbeda dengan semalam
sebelumnya, kali ini aku tidak
begitu tergerak untuk mengajak
Adli ke kamarku. Barangkali
karena hasratku sudah
terpuaskan tadi malam, lagi pula
perjalanan hari ini benar-benar
membuatku sangat letih.
Segera aku mandi dan
membaringkan diriku di ranjang
empuk yang tersedia. Lama
kelamaan baru terasa malam ini
sepi sekali. Agak menyesal juga
tadi tidak mengajak Adli
bersamaku. Tapi kalau
mencarinya sekarang rasanya
gengsi juga. Sewaktu aku hampir
tertidur kudengar bunyi ketukan
di pintu, lalu suara seorang laki-
laki.
"Neng, Neng Mimien, sudah tidur
belum..? Neng bukain pintunya
dulu Neng."
Karena ketukan pintunya begitu
gencar akhirnya kubukakan
pintu untuk Adli. Ia segera masuk
ke dalam ruangan, sedangkan
aku yang tadi tidur dengan
busana yang sangat minim
segera kembali ke bawah selimut.
Kutanya kepadanya,
"Kenapa Adli, ada apa?"
"Adli nggak bisa tidur Neng, boleh
nggak Adli di sini? Nggak usah
sampe pagi sih."
Dengan hati-hati kujawab, "Boleh
sih boleh, tapi apa kata Pak
Soleh nanti?"
Adli tersenyum lebar, "Tadi saya
udah bilang mau jalan-jalan.
Besok saya bilangin aja Adli nyari
kamar lain, soalnya Pak Soleh
kalo tidur ngorok Neng."
Rupanya biarpun polos jalan juga
pikiran anak ini. Waktu Adli mau
naik ke atas ranjang kucegah
dia.
"Itu kan celana yang tadi siang
dipakai, lepas dulu dong, kan
kotor."
Tersenyum Adli memandangku,
"O iya Neng, lagi pula supaya
nanti gampang ya kalo Neng
Mimien mau, kalau begitu
sekalian aja saya lepas bajunya
ya Neng."
Kurang asem si Adli, berani betul
dia membuat asumsi seperti itu.
Sebelum kubalikkan tubuhku
membelakanginya sempat kulihat
tubuhnya yang telanjang kekar
naik ke atas ranjang.
Beberapa saat berlalu tiba-tiba
kurasa sentuhan tangan Adli di
bahuku.
"Neng jangan tidur dulu dong
Neng," pintanya memelas mesra.
"Deketan dikit dong, biar nggak
kedinginan," sambungnya lagi.
Kuputuskan untuk beringsut
sedikit ke arah tubuhnya. Aku
masih diam saja, tapi kubiarkan
Adli merangkul dan mengecup
bahuku. Setelah itu
disusupkannya lengan kirinya ke
bawah leherku, sehingga aku
sekarang berbantalkan lengan
yang kokoh itu.
"Balik sini dong Neng," pinta Adli
sekali lagi.
Kuturuti permintaannya. Terasa
bulu ketiaknya menusuk pipiku.
Tercium juga bau keringatnya
yang agak tajam menyengat.
Kurasa Adli belum mandi, dan
yang pasti tidak memakai
deodorant. Boro-boro mau beli
perlengkapan semacam itu, gaji
untuk hidup sehari-hari sajapun
mungkin pas-pasan. Tapi tidak
kuucapkan komentar apapun,
karena akupun tidak ingin untuk
menyinggung perasaannya.
"Neng," kata Adli memulai
percakapan, "tadi malam enak ya
Neng?"
Kutanggapi ia malas-malasan,
"Iya, lumayan juga."
Dengan terbuka ia mengakui,
"Neng, Inget yang tadi malam Adli
jadi ngaceng, eh maksudnya
bangun lagi ITU-nya Neng."
Dengan maksud iseng kugoda
Adli,
"Maksud Adli ITU-nya apa sih?"
Dalam kepolosannya sulit ia
untuk menjawab dengan tepat,
"Itu Neng, penisnya.. eh apa tuh
namanya Neng?"
Aku jadi tertawa geli mendengar
jawabannya itu. Adlipun tertawa
bersamaku.
"Pegangin dong Neng, sekarang
dia memintaku."
Terus terang aku sendiri juga
mulai terangsang. Kumasukkan
tanganku ke dalam selimut, dan
segera menuju ke arah
selangkangannya. Begitu
terpegang tonjolan keras di balik
celana dalamnya segera
tanganku mencari celah masuk.
Seperti pengakuannya tadi
ternyata alat kejantanan Adli
sudah menegang keras dan
besar sekali. Terasa sekali
hangat berdenyut dalam
genggamanku. Agak lengket oleh
keringat yang barangkali sudah
mengendap seharian.
Terbawa oleh suasana mesra
saat itu kucium dan emut puting
dadanya. Adli menggelinjang
kegelian. Katanya meminta,
"Terus ke bawah Neng."
Tapi tercium lagi olehku bau
keringat Adli. Karena tidak tahan
kuusulkan padanya,
"Adli, mandi aja dulu, nanti
rasanya lebih segar deh."
Di luar dugaanku Adli menanggapi
dengan penuh percaya diri,
"Nggak usah deh Neng, dingin
sekali."
Tapi aku tidak mau menyerah
begitu saja. Kataku
membujuknya,
"Lho kan ada air panasnya, sana
deh.. Apa harus saya yang
mandiin?"
Sambil berdiri Adli berkata,
"Nggak usah ah kalo dimandiin,
emangnya jenazah nggak bisa
mandi sendiri."
Adli merosot celana dalamnya,
"Tapi ininya dicium dulu dong."
Agak jengkel aku mendengar
permintaannya. Dari nadanya
kesan yang kutangkap seakan-
akan dia ingin menguji atau
mempermainkan aku. Dengan
maksud supaya dia cepat pergi
ke kamar mandi, segera kukecup
kepala dan batang kemaluannya,
masing-masing sekali. Tapi Adli
memintaku untuk mengulanginya
sekali lagi, dan setelah itu sekali
lagi. Akhirnya malah aku sendiri
yang keenakan menciumi batang
kemaluan Adli.
Beberapa saat kemudian terlihat
Adli keluar dari kamar mandi. Dia
hanya mengenakan sehelai
handuk untuk menutupi bagian
bawah tubuhnya. Kuperhatikan
setiap lekuk pada tubuh yang
bagus dan tegap itu. Lalu
kutersenyum padanya.
"Kenapa Neng?" Tanya Adli.
"Ah nggak, seneng aja ngeliat
orang keren," kataku merayu.
Wajah Adli terlihat senang.
Kugamit lengannya agar ia lalu
mendekat, setelah itu kutarik
handuknya lepas. Batang
kejantanan Adli terpampang di
depanku, sudah tegang keras
kembali.
"Lho," tanyaku heran, "kok masih
keras sih.
Tersenyum Adli menjelaskan,
"Tadi sih udah nggak lagi, tapi
begitu ngeliat Neng Mimien jadi
bangun lagi."
Sekarang giliran dia yang
membuat hatiku senang dengan
kata-katanya. Segera kutarik
tangannya, kuminta ia
membaringkan tubuhnya di
ranjang. Kuciumi wajah pemuda
yang telah memikat hatiku ini,
sehingga sampai membuatku
terlupa pada rumah-tanggaku
sendiri. Kugigiti dia dengan
lembut bercambur gemas mulai
dari leher, lalu bahu dan
dadanya, dan setelah itu
sepanjang pinggangnya. Setelah
itu kuteruskan ke arah bawah
hingga ke sekitar
selangkangannya. Tapi kali iini
aku hanya menciumi batang
kemaluan Adli sekedarnya saja.
Sempat kulirik Adli menatapku
dengan pandangan heran. Tapi
kuteruskan saja menciumi paha
dan betisnya hingga aku sampai
di kakinya. Waktu jempol kakinya
kuemut Adli menjerit,
"Aduh Neng jangan, kasihan Neng
Mimien."
Setelah itu kecupan-kecupan
bibirku bergerak menuju ke atas
lagi, hingga aku berhenti di
sekitar selangkangannya. Tubuh
Adli terlihat berkeringat, padahal
udara malam itu cukup dingin.
Rupanya apa yang baru
kulakukan tadi telah memacu
birahinya.
"Enak nggak Adli?" tanyaku ingin
memastikan.
"Aduh Neng, Adli nggak pernah
ngebayangin seperti ini rasanya."
Jawabannya membuat hatiku
berbunga-bunga. Dengan penuh
semangat aku mulai menjilati
kepala dan batang kemaluannya.
Lidahku menyapu semua sudut
kemaluan yang besar dan keras
itu. Tidak lupa kujilati juga buah
zakarnya, hingga Adli menjerit
keenakan. Apalagi waktu
pantatnya kugigit-gigit lembut.
Karena masih ingin merangsang
Adli lebih jauh lagi kudorong
bagian bawah pahanya ke atas.
Lalu kujilati sekitar duburnya.
"Aduh Neng, aduh, ampun Neng,"
Adli mengerang keras sekali.
Karena kuatir didengar orang
kuhentikan jilatanku itu.
Langsung batang kemaluan Adli
aku kulum dalam dan setelah itu
kuemut-emut dengan bernafsu.
Beberapa saat kemudian Adli
menarik tanganku lembut,
"Sini Neng.. Adli belum pernah
ngalamin yang seperti begini..
Terima kasih ya Neng!"
Kemudian dimintanya aku
berbaring menelentang. Sebelum
timbul pikiran macam-macam di
benak pemuda, cepat kutarik
batang kejantanannya ke
mulutku dan kuemut-emut
dengan penuh gairah. Setelah itu
terjadilah sesuatu yang tidak
kubayangkan akan sebelumnya.
Ia menjatuhkan tubuhnya ke
arah bawah, dalam posisi 69
berlawanan arah dengan
tubuhku. Didekatkannya
wajahnya yang tampan itu ke
arah selangkanganku. Dijilatinya
seluruh bagian kemaluanku.
Dipeluk dan ditariknya pantatku,
lalu dijilatinya duburku seperti
tadi telah kulakukan padanya.
Kalau tidak kugigit bibirku
pastilah aku sudah menjerit-jerit
kegelian.
Sewaktu dia kembali menjilati
kemaluanku hampir saja aku
mencapai puncak orgasmeku.
"Adli, sayang, udah ah saya
nggak tahan," kataku
memintanya berhenti.
Pemuda itu menatapku dengan
pandangan bertanya. Terpaksa
kujelaskan bahwa belum tentu
aku setahan dia. Kalau nanti aku
orgasme duluan bisa
mengganggu pelayananku
kepadanya. Setelah mau
mengerti Adli kembali ke posisi
semula, yaitu mengangkangi
tubuh bagian atasku. Kumulai lagi
menjilati dan mengemut tonggak
kejantanan Adli yang keras itu.
Sambil tentunya tanganku
sendiri mengusap-usap
kemaluanku yang tadi sudah
dirangsang Adli. Lama-kelamaan
mulai terasa cairan kental agak
asin di mulutku. Kelihatannya Adli
sudah mendekati saat-saat
puncaknya. Sayangnya tiba-tiba
aku merasa agak mual. Terpaksa
kuakali Adli dengan meminta
sesuatu yang berbeda dari tadi
malam.
"Adli, nanti waktu keluar siramin
ya ke atasnya saya."
Ia bertanya heran, "Mau Neng
seperti begitu, ditumpahin
pejuhnya saya?"
Kuyakinkan Adli, "Mau dong kan
enak.. Oh iya nanti kalau kamu
udah keluar punya saya kamu
usapin ya, biar saya juga puas."
Setelah itu kembali kuemut-emut
batang kemaluan Adli, sambil
kukocok-kocok keras. Tidak
terlalu lama kemudian terdengar
Adli mengerang dan mengaduh.
Sesuai permintaanku tadi
ditariknya tonggak
kejantanannya dari dalam
mulutku. Lalu dia mengambil alih
dengan mengocoknya sendiri.
Kuatur posisi diriku sambil
tanganku terus meremas-remas
pahanya yang keras berotot.
Waktu Adli mulai berejakulasi,
aku mengaduh kaget. Cairan
yang tadinya kuharap akan
jatuh di dadaku, atau paling jauh
leherku, ternyata begitu kuat
semburannya sehingga
tertumpah di wajahku.
Mendengar eranganku rupanya
Adli mengira aku menyukainya.
Didekatkannya barang
kejantanannya ke wajahku. "Ah..
ini Neng.. ah.. ah."
Semburan demi semburan air
mani tersiram ke wajahku.
Terpaksa kucoba menikmati itu
semua sebisaku. Sementara itu
kurasa telapak tangan Adli yang
kasar meraba selangkangan dan
celah pahaku, berusaha
membawaku juga diriku ke
puncak orgasme. Dalam keadaan
terangsang mulutku mencari
batang kejantanan Adli. Seperti
semalam sebelumnya ternyata
masih dalam keadaan sangat
keras, dan tetap besar,
walaupun sudah mengalami
ejakulasinya. Dengan cepat
kumasukkan barang kepunyaan
Adli itu ke dalam mulutku dan
kuemut-emut lagi. Adli
mengerang keenakan dan
mengaduh kegelian. Dalam
keadaan itulah aku juga
mencapai puncak pengalamanku
di malam ini.
Melihat keadaanku yang sudah
lemah lunglai Adli menyuruhku
berbaring santai. Setelah
membersihkan dirinya di kamar
mandi ia kembali membawa
handuk yang telah dibasahinya
dengan air hangat.
Dibersihkannya seluruh tubuhku
dengan telaten dan penuh
perhatian. Sambil merebahkan
tubuhnya masih sempat ia
berkata,
"Aduh Neng, enak sekali
rasanya."
"Iya Adli, saya juga puas sekali,"
jawabku sambil beringsut
mendekatinya.
Kali ini aku yang ingin dipeluknya.
Demikianlah selanjutnya akupun
terlelap dalam aku dibuaiannya,
tapi karena sedang asyik-
asyiknya kuputuskan untuk
berlaga seolah-olah tidak sadar.
Begitulah ternyata malam ini aku
dan Adli kembali dipertemukan.
Barangkali memang sudah
jodohnya.
"Neng, neng Mimien, sekarang
Adli masukin ya?"
Suara pemuda itu terdengar
mengusikku. Sempat terbersit
keinginan di hatiku untuk
menolaknya, tapi akhirnya
birahiku yang sudah sangat
memuncak mendorongku
mengambil keputusan yang
berbeda. Kutatap dia dengan
lembut, lalu kuiyakan
permintaannya.
"Tapi pelan-pelan ya Dli, soalnya,
soalnya..," aku kebingungan
memilih kata-kata yang tepat.
Adli tersenyum bangga.
Diteruskannya apa yang
kumaksud dengan berkata,
"Soalnya belum pernah dimasukin
yang sebesar ini ya?"
Aku hanya dapat mengangguk
pelan, rupanya Adli telah dapat
membaca pikiranku. Kemudian Adli
membuka selangkanganku,
sementara mengemut-emut
puting dadaku, seperti seorang
bayi besar yang sedang dahaga.
Diusap-usapnya bibir kemaluanku
dengan ujung kejantanannya.
Aku menggelinjang kegelian,
sudah merasa ingin, tapi juga
agak takut.
Ketika Adli mendorong
kepunyaannya itu masuk, rasa
pedih yang amat sangat melanda
seluruh tubuhku. Ternyata
kepunyaanku agak sempit
dibanding kepunyaannya.
"Aduh Adli sakit..," sambil kugigit
bibirku.
Dia berhenti sejenak, lalu mulai
mendorong alatnya
kejantanannya kembali. Setelah
kurang-lebih masuk setengahnya
tiba-tiba Adli mendorong agak
keras, hingga membuatku
menjerit.
"Aduh, aduh, aduh, sakit sekali
sayang.."
Sambil kucoba merenggangkan
pahaku selebar-lebarnya. Rasa
pedih yang kuderita berlangsung
selama kurang-lebih dua menit,
sebelum berangsur-angsur
mereda. Lubrikasi dari liang
kemaluanku akhirnya semakin
mempermudah gerakan alat
kejantanan Adli, sehingga dapat
bergerak maju mundur lancar.
Aku merinding dan menggigil
dilanda kenikmatan yang baru
sekali ini aku rasakan.
Belum pernah liang kewanitaanku
menerima kunjungan benda asing
milik lelaki yang sebesar ini.
Karena memang selama ini
pengalaman yang kumiliki
hanyalah dengan Mas Heru.
Dibanding suamiku, kelebihan Adli
bukan hanya karena ukuran alat
vitalnya yang besar, tetapi dia
sendiri juga pandai
memainkannya. Akibatnya baru
sepuluh menit saja aku sudah
mencapai orgasmeku yang
pertama. Rasanya tubuhku
melambung tinggi, dan terbawa
melayang entah kemana. Tanpa
kendali lagi aku menjerit-jerit
memanggil nama pemuda itu,
sambil sesekali menggigit-gigit
lengannya. Setelah perasaanku
mereda baru kusadari bahwa Adli
masih dengan gagah
menunggangiku. Terpaksa kuatur
nafas dan posisi diriku, supaya
bisa mengimbangi
keperkasaannya.
Menjelang Adli mencapai
klimaksnya, masih sekali lagi aku
dilanda gelombang nikmat
orgasme kewanitaanku. Maka
ketika kudengar Adli berkata,
"Sekarang Adli lepas ya," aku
hanya dapat mengiyakannya
saja.
Begitu kukatakan, "Iya Dli, iya
sayang, tolong sekarang.. akh."
Langsung Adli memperhebat
gerakan menghunjamnya.
"Neng, neng Mimien, neng.. aduh
neng.. aahh," demikian Adli
meracau sambil mendorong
kepunyaannya sedalam-dalamnya
memasuki liang kewanitaanku.
Sangat erat ia memeluk
tubuhku, sementara jari-jariku
meremas punggungnya, karena
orgasme yang juga sedang
kualami. Setelah beberapa saat
berlalu, barulah gerak dan
erangan kami berdua mereda.
Adli masih membiarkan
kepunyaannya di dalam
kepunyaanku selama beberapa
saat, setelah itu baru ditariknya
keluar. Sebagian dari siramannya
tadi ikut mengalir tertumpah di
selangkanganku.
Nampaknya melakukan hubungan
yang memuaskan itu cenderung
membuat diriku lapar. Atas
permintaanku Adli memesan
hidangan dan minuman dari
restaurant. Begitu tiba langsung
kusantap dengan sepuas-
puasnya. Setelah itu kuminta Adli
untuk mengantarku pulang.
Tetapi ternyata dia belum mau,
karena katanya belum puas
menyetubuhiku. Terpaksa
kulayani dia sekali lagi. Ternyata
permainan yang kedua ini juga
tidak kalah dibanding yang
pertama tadi. Kembali ia
membawaku ke puncak
orgasmeku, sebelum ia sendiri
menyiramkan air maninya ke
liang rahimku untuk kedua
kalinya. Aku sungguh-sungguh
merasa puas, kuyakin begitu
pula dengan Adli. Akhirnya baru
jam 1 malam aku memasuki
rumahku. Untunglah Mas Heru
sudah tertidur lelap, sehingga
aku terlepas dari kewajiban
untuk menjelaskan apapun
padanya.
Suami Gelap
Hubunganku dengan Adli menjadi
sangat akrab setelah peristiwa
di malam itu. Ternyata dia
sikapnya romantis, walaupun
kemasan gayanya agak lugu.
Bercinta dengannya akhirnya
menjadi suatu kebutuhan rutin
untukku. Kalau lebih dari
seminggu tidak ditungganginya
perasaan dan emosiku benar-
benar menjadi kacau. Begitu pula
halnya dengan Adli. Malah karena
nafsu birahinya yang ternyata
cukup besar, sering ia meminta
jatahnya sampai dua kali
seminggu. Untunglah hubungan
kami tidak pernah sampai
diketahui orang lain.
Demi nama baik dan martabat
aku selalu berusaha untuk
bersikap hati-hati. Demikian pula
Mas Heru tidak pernah merasa
curiga sama sekali. Beberapa
bulan kemudian ternyata aku
hamil. Baik Mas Heru maupun Adli
menyambut kehamilanku itu
dengan gembira. Demikian pula
tentunya orang-tuaku dan
orang-tua Mas Heru. Aku
memang juga gembira, tapi juga
kuatir apa yang akan terjadi di
masa depan nanti. Rasa
kekuatiranku semakin
bertambah karena anak yang
kulahirkan ternyata tidak bisa
dikatakan mirip dengan Mas
Heru. Sekali lagi aku beruntung
karena Mas Heru tidak merasa
curiga sedikitpun. Sebelum tiga
tahun berlalu aku dianugerahi
seorang anak lagi. Sehingga
lengkap sudah rasanya
kebahagiaanku. Satu hal yang
membuat kebahagiaanku semakin
sempurna adalah sikap Mas Heru
dan Adli yang baik. Mereka
berdua sama-sama menyayangi
anak-anakku, selainnya
tentunya menyayangi diriku. Adli
sendiri akhirnya juga mempunyai
dua orang anak dari istrinya.
Demi ayahnya, mereka aku
dukung juga, terutama untuk
pendidikannya. Dengan kegiatan
usahaku yang semakin saja
berkembang, dan asset
kekayaan yang terus
bertambah, aku cukup mampu
untuk melakukan itu semua.
E N D

Back to posts
This post has no comments - be the first one!

UNDER MAINTENANCE

HOME

U-ON


Teacher & Student (174)
Lesbian (232)
Double Penetration (84)
Masturbation (222)
Doctor & Nurse (285)
Handjob (60)
Sunny Leone Sex Video
Indonesian Porn Video
Japan School Girl Sex
mrs Teacher Sex In Class
3 Teen Girls Fucking 1 Man
Sex In The Bathroom
Indian Very Young Wife RapE Video.3gp
Indian Actress Madhu Sharma Sex Video.3gp
School Girl 1st Time Sex Video (3.7MB).3gp
Katrina Kaif New Sex Video (4.5MB).3gp
College Girl Ankita Lokhande Sex Video.3gp